Apa Itu Ach
Oleh: Bapak Fackhruddin S. Bsc
Suatu ketika di Kecamatan Karang Gede Kabupaten Boyolali Propinsi Jawa
tengah ada yang bertanya kepada saya, apa itu aceh? Pertanyaan itu
muncul karena seorang penjual nasi melontar kan kalimat tanya kepada
saya dalam bahasa daerah jawa, sedangkan saya melongo tidak mengerti apa
yang ditanyakannya. Oleh kawan saya dijelaskanlah bahwa saya tidak
paham kata-katanya sebab saya ACEH. Lantas terlontarlah pertanyaannya “Apa itu Aceh ?”
Saya berikan jawaban bahwa saya dilahirkan disana. “Oo.... sebuah
tempat, ya? Dimana itu, ya?” Dia kembali bertanya dalam keluguannya yang
khas warga desa. Saya coba menjawab sekenanya :” Kalau tidak tau aceh
itu dimana, pasti tau SABANG. Itu wilayah Aceh.” Akhirnya dia
manggut-manggut, sebab teringat dia sering disekolah dulu menyanyikan
lagu wajib : “ Dari Sabang sampai Merauke.”
Coba
anda bayangkan jika anda saat itu berada pada posisi saya. Ketika
seseorang bertanya kepada kita apa itu Aceh, apa yang mesti kita jawab
sehingga orang yang bertanya itu faham apa itu Aceh. Nah, kita mulai
menjawab bahwa Aceh itu berasal dari kata (bahasa) apa dan dipakai untuk
apa dan seterusnya. Artinya perkataan itu untuk bendanya, aktifitasnya,
letak/geografisnya, manusianya, atau apa? Karena penulis, sering
mendengar orang-orang menjawab ketika dia ditanya apa dia orang Aceh?,
bahwa dia bukan orang Aceh tapi Gayo (maksudnya tidak bisa berbahasa
Aceh, hanya bisa bahasa Gayo). Begitu pula di Aceh Timur, ada yang
mengaku bukan orang Aceh tapi Tamiang. Nah, bagaimana jika ada yang
bertanya APA ITU ACEH?
Namun begitu, maksud penulis disini hanya
ingin memperkaya khasanah pengetahuan kita tentang Aceh. Jika tidak
dapat dianggap pengetahuan, boleh juga dianggap sebagai guyonan lucu
sambil minum kopi sore diwarung sebelah rumah. Entah lah.
Bahwa
ada yang mengatakan Nama Aceh itu yang dulu dieja dengan A-T-J-E-H
mempunyai arti A = Kakak (bahasa Aceh) dan TJEH = Lahir (bahasa Aceh).
Disebut demikian adalah karena kerajaan Aceh adalah kerajaan yang paling
awal di kenal. Dalam hal ini Aceh itu bermakna YANG DULUAN LAHIR. Jika
hal ini dijadikan acuan, maka pakar sejarah lah yang dapat mengatakan,
apakah yang dimaksud duluan lahir itu, Kerajaannya, Islamnya ataukah
duluan dikenal di Manca Negara. Barangkali, karena Kemerdekaan Negeri
Belanda yang pertama-tama mengakuinya adalah Kerajaan Aceh.
Belum lahir pengakuan dari manapun kala itu di Nusantara, Aceh lah yang pertama yang mengakui kemerdekaan Negeri Belanda.
Kemudian,
ada pula yang mengatakan bahwa A = Tidak (bahasa sanskerta) dan TJEH =
Hancur/Lumat (bahasa daerah). Ini bermakna bahwa daerah ini tidak pernah
benar-benar dapat dihancurkan atau ditundukkan. Mungkin karena dalam
sejarahnya Aceh memang tidak pernah terkalahkan dalam berbagai
peperangan yang terjadi. Sekali lagi, hal ini tentu pakar sejarahlah
yang mungkin dapat menjawabnya. Barangkali, Belanda memang dibuat pusing
tujuh keliling ketika berperang dengan Aceh. Istana raja sudah
dukuasai, bahkan Raja sendiri sudah menyerah, tapi rakyatnya terus
melakukan perlawanan dari berbagai penjuru, sampai tahun 1945 pun Aceh
tidak pernah benar-benar takluk kepada Belanda.
Penulis
teringat waktu sekolah di SMA Iskandar Muda Banda Aceh (1970) Kata Guru
Bahasa Aceh (Drs. Razali Tjut Lani), yang juga Kepala SMA IM waktu itu,
ATJEH itu merupakan singkatan dari A(rab) T(jina) J(unani) E(ropa)
H(industan). Akan sulit dibaca bagi mereka sekarang yang tak pernah tahu
ejaan kita telah berubah. C sekarang, dulu ditulis Tj, J yang sekarang
dulunya ditulis Dj dan Y sekarang dimana dulu ditulis J. Oleh sebab itu
lah tulisan Atjeh berubah menjadi Aceh. Guru Bahasa Aceh itu menerangkan
bahwa Singkatan ATJEH itu yang bermakna Arab – Cina – Yunani – Eropa –
dan Hindustan ditabalkan untuk daerah ini karena suku bangsanya yang
mewakili ke lima bangsa tersebut. Kata Beliau, Orang Arab itu berkulit
hitam manis, hidung macung dan berambut tebal. Orang Cina berkulit
putih, mata sipit, hidung pesek. Orang Yunani, kulit kemerahan, hidung
agak bengkok (seperti paruh burung) dan dahi lebar. Orang Eropa, kulit
putih, mata biru, rambut pirang dan Orang Hindustan berkulit hitam, mata
coklat kemerahan dan rambut panjang/lebat.
Guru Bahasa Aceh itu
menerangkan bahwa kesemuanya itu (Arab – Cina – Yunani – Eropa –
Hindustan) datang dan menetap di Aceh dan menjadi bahagian dari
masyarakat setempat. Kombinasi dari mereka itulah yang kita jumpai
sekarang. Maka masyarakat kita ada yang hitam ada yang bulek, ada yang
tubuhnya panjang ada yang pendek, ada yang matanya merem dan ada yang
melek, ada yang hidungnya mancung dan ada yang pesek. Jangan kan anda,
penulis pun tertawa ketika pertama kali mendengarnya. Penulis tidak tahu
pasti, apakah hal itu benar atau hanya sekedar canda beliau.
Kembali
kepada pokok soal yang kita bicarakan, mana yang benar dari perkataan
ACEH itu ? Jika kita percaya bahwa Islam pertama sekali masuk ke
Peureulak baru menyebar ke Nusantara, maka kiranya Aceh itu mengacu
kepada duluan lahir sebagai kerajaan Islam. Juga jika kita percaya bahwa
Negeri ini yang pertama kali menjalin hubungan luar negeri sehingga
dikenal di mancanegara. Jika kita percaya sukubangsa ini berasal dari ke
lima bangsa tadi, maka benarlah kata Aceh (ATJEH) itu adalah singkatan
dimaksud. Sedangkan jika diambil dari arti Tidak Hancur, jelas tidak
tepat atau tidak mungkin. Karena perang itu muncul setelah Aceh dikenal
luas, bukannya duluan terjadi perang baru kemudian terbentuknya negeri
ini. Baru masuk akal, jika sebelumnya namanya bukan Aceh dan setelah ada
peristiwa itu baru kemudian diganti menjadi negeri dengan nama Aceh.
Jika
mengacu pada asal muasal suku bangsa Aceh yakni Arab – Cina – Yunani –
Eropah – Hindustan, maka pertanyan selanjutnya adalah, siapakah yang
pertama kali mencetuskan himpunan nama itu sehingga muncul kosa kata
Atjeh atau Aceh? Lantas pada event apakah ide ini tercetus dan kemudian
menjadi resmi sebagai sebutan untuk daerah ini? Penulis masih menyimpan
tanda tanya hingga sekarang. Maka lebih dekat hanya pada kebetulan
belaka. Namun demikian, yang jelas tidak mungkin sebutan ATJEH atau ACEH
itu tidak ada asal usulnya.
Sebagai lanjutannya, sudah banyak kita
baca dalam buku sejarah Aceh kontemporer atau yang terkini. Tulisan ini
bukanlah dimaksudkan sebagai yang sempurna, tapi hanya memberi secercah
warna agar nuansanya menjadi lebih hidup.
Semoga berguna.
Oleh : Fachruddin S.Bsc M.Kes
0 komentar:
Posting Komentar